Berdasarkan tingkat kewenangan pemerintah, ada dua kewenangan pada ruas-ruas jalan di Jakarta. Yakni, jalan milik negara dan provinsi. Jalan negara di DKI Jakarta dikategorikan menjadi dua jenis yaitu, jalan tol dan jalan negara. Jumlah panjang jalan tol di DKI Jakarta 160.350 meter. Dengan jumlah panjang jalan tol terpanjang berada di Jakarta Timur yaitu 52.450 meter. Adapun jumlah panjang jalan tol terpendek di Jakarta Pusat yaitu 2.500 meter.
Sedangkan jumlah panjang jalan negara di lima kota DKI Jakarta adalah 59.856 meter. Dengan jumlah jalan nasional terpanjang di Jakarta Timur yaitu 22.306 meter dan tidak adanya jalan nasional kategori negara di wilayah Jakarta Pusat. Wilayah Jakarta Selatan ternyata memiliki panjang jalan terpanjang dibandingkan dengan lima wilayah kota lainnya. Panjang jalan di Jakarta Selatan yakni 2.028.618 meter. Dengan rincian, jalan kewenangan negara sepanjang 42.461 meter dan panjang jalan dalam kewenangan provinsi yakni, 1.986.157 meter. Wilayah Jakarta Timur mempunyai jumlah jalan tol dan jalan negara terluas yaitu 1.451.550 m2 dan 367.404 m2. Menurut jenisnya, jalan di DKI Jakarta dikategorikan menjadi 6 jenis yaitu tol, arteri primer, kolektor primer, arteri sekunder, kolektor sekunder, dan lokal.
Berdasarkan jenis tersebut, 74,4 persen atau 4.949.394 meter jalan di DKI Jakarta masuk dalam kategori jenis jalan lokal. Sedangkan 0,9 persen atau 57.696 meter jalan di provinsi ini merupakan jalan kolektor primer. Jalan lokal merupakan jenis jalan di DKI Jakarta terluas dibandingkan dengan jenis jalan lainnya yaitu 23.546.835 m2 dan jalan berjenis kolektor primer mempunyai luas paling kecil yaitu 31.540 m2.
Itu berarti dengan panjang seluruh jalan itu belum memungkinkan arus lalu lintas lancar di Jakarta kalau tidak mau dikatakan masih akan terus terjebak kemacetan apabila tidak ada pembatasan secara radikal. Diakui pemberlakuan ganjil-genap untuk mobil cukup mengurangi kemacetan dan kepadatan. Namun lambat tetapi pasti ruas jalan yang sempat bisa bernafas dipadatkan dan dimacetkan lagi oleh sepeda motor yang jumlahnya terus membludak dan memuncaki jenis kendaraan yang ada. Pemilik mobil yang pelat mobilnya ganjil pada tanggal ganjil menempuh alternatif membawa sepeda motor. Begitu pula waktu tanggal genap, yang mobilnya berpelat genap naik sepeda motor ke tempat kerjanya. Maka ketika suatu ruas jalan di ibu kota macet yang tampak memadati bahkan menyemutinya adalah sepeda motor. Ditambah lagi perilaku berkendara (sepeda motor) yang kerap seenaknya, dan kehadiran yang bukan kendaraan bermotor menjadikan jalan raya Jakarta menjadi pemicu mengubunnya gula darah.
Beragam Ulah Menambah macet
Lihatlah di dua ruas jalan berbeda arah yang sontak macet total sehingga sopir-sopir bagai berlomba bunyikan klakson. Bising, sungguh tidak enak didengar. Boleh jadi karena bunyi klakson itu mewakili suasana hati kesal si pengemudi itu sendiri melihat macet sumpek di hadapannya. Apa penyebab? Tabrakankah? Ada demo atau keributan di tengah jalan? Tidak! Ternyata hanya karena satu gerobak pedagang terguling akibat pendorongnya tidak kuat menjaga keseimbangan saat gerobaknya didorong menyeberang melompati pembatas jalan. Pipa-pipa besi bakal penyangga tenda tempat berjualan sea food dan pecel lele tercecer di jalan di kedua arah.
Kendaraan stop di dua arah berlawanan. Seorang sopir mobil box yang tidak sabar hendak memaksakan diri melintas dengan menggilas pipa besi. Pendorong gerobak protes keras ulah sang sopir. Sambil mengangkat sebatang pipa besi dia mengancam bakal menghancurkan kaca mobil box jika benar-benar digilas pipa besi penyangga tenda. Cekcok mulut membuat macet makin memanjang.
Gerobak, seringkali menjengkelkan manakala pedagang bergerobak itu mendorong gerobaknya santai di jalur kanan dengan melawan arah tanpa peduli ulahnya menyusahkan pengendara. Bahkan memacetkan arus lalu lintas. Sopir-sopir yang jagi malas bunyikan klakson karena pura-pura tidak didengar akhirnya hanya kuasa mengelus dada menyaksikan gaya si pedagang gerobak.
Banyak pelanggaran lalu lintas yang menjengkelkan terjadi di jalan-jalan Kota Jakarta. Jika tidak sabar dan berhati-hati melintas seperti di jalan di kawasan Jatinegara bisa terjadi adu kepala entah itu antara sepeda motor dengan sepeda motor atau antara mobil dengan sepeda motor yang datang melawan arah dan tanpa peduli jalan yang dilalui lagi padat pula. Dia asyik saja mendengarkan musik lewat headset HPnya.
Jika anda berkebetulan mengendarai mobil di sana, jangan coba-coba berpegang pada aturan main perlalulintasan. Senggol gerobak atau sepeda motor entah itu yang melawan arah/arus, anda tidak hanya dicap tak berperikemanusiaan. Tidak ada jaminan anda tak dikeroyok setelah diprovokatori pemotor atau pendorong gerobak itu. Itu berarti anda harus pula mengganti rugi kerusakan sepeda motor atau gerobak yang anda disenggol.
Bukankah sepeda motor dan gerobak yang melawan arus itu melanggar aturan lalu lintas? Bukankah gerobak tidak membayar pajak (jalan). Sekedar pajangankah UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009? Tidak dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan dan teori-teori bagus dalam hal ini. Di jalan-jalan di Jakarta ini seringkali tata tertib berlalulintas tidak penting. Siapa yang berani nekat dia bisa seenaknya. Kalaupun ada larangan masuk gerobak, pedagang bergerobak tak mau tahu dan tak peduli kalaupun perbuatannya itu merugikan orang lain. Begitu juga pemotor, ramai-ramai dan terus menerus lawan arus/arah, mengusir pejalan kaki di trotoar, tetap saja tidak masalah selagi tak ada polisi lalu lintas. Kalaupun ada seringkali hal seperti itu dilewatkan saja karena sudah terlalu sering dan banyak.
Kalau ada yang berteriak, negara ini negara hukum woi jadi di jalan raya (berlalulintas) pun ada persamaan di hadapan hukum atau equality before the law, itu lagi-lagi hanya sekedar teriakan saja. Hampir tidak ada sanksi bagi pedagang gerobak yang melawan arus lalu lintas dan memasuki ruas jalan yang tertutup untuk gerobak. Begitu pula terhadap sepeda motor yang melawan arus, tetap saja disalahkan pengendara mobil yang menyenggolnya. Risiko dari senggolan harus ditanggung sopir mobil sendiri kendati pesepeda motor yang menghadang dari arah berlawanan.

Jumlah kendaraan yang tak sebanding panjang jalan sebabkan kemacetan
Dalam kondisi macet dan semrawut begitu, bagaimana cara terbaik mengatasi kemacetan di Jakarta? Janji hampir setiap calon gubernur dikaitkan dengan hal ini. Berbagai macam solusi pun diutarakan dan dicoba untuk diwujudkan ketika sudah resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Namun merealisasikan teori-teori menjadi kenyataan bukanlah hal mudah. Ada yang hanya bisa teorinya saja, prakteknya tidak tahu dari mana memulainya.
Artikel Terkait
IKN Resmi Dipindah, Mujiyono: Ekonomi Jakarta Bakal Anjlok, Polusi Dan Macet Tetap Ada