Reog

- Selasa, 12 April 2022 | 02:36 WIB
Dr.Edy Purwo Saputro, SE, MSi  (Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi )
Dr.Edy Purwo Saputro, SE, MSi (Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi )
 
Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
 
SUARAKARYA.ID: Kembali negara tetangga memuat kejutan dan kemarahan setelah ada
rencana mengakui Reog ke Unesco sebagai miliknya. Perilaku ini bukan yang pertama dan telah berulang kali sehingga memicu sesat pikir sebenarnya apa yang mereka lakukan dan inginkan.
 
Di satu sisi, warisan budaya memang menjadi salah satu penciri yang bisa membedakan di era global dari semua negara sehingga kekayaan budaya menjadi sangat penting. Di sisi lain tentu tidaklah serta merta mengakui, apalagi sampai melakukan klaim sebagai hak milik warisan budayanya ke Unesco karena bisa memicu konflik, bukan hanya konflik sejarah budaya tapi juga konflik sosial ekonomi.
 
Negara serumpun Indonesia - Malaysia yang sama-sama menggunakan bahasa melayu memang tidak baru sekali terjadi konflik. Bahkan sengketa kepulauan Sipadan - Ligitan seolah menjadi duri dalam harmoni hubungan bilateral kedua negara serumpun ini. Fakta menjelaskan bahwa akhirnya kepulauan Sipadan – Ligitan harus terlepas dari Republik ini berdasar keputusan Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002. Terkait ini,  Menkopolhukam waktu itu, Mahmud MD menegaskan bahwa lepasnya kepulauan Sipadan – Ligitan bukan karena ketidakmampuan Republik ini mempertahankan kedaulatan tapi justru karena secara yuridis yang memaksa kepulauan itu lepas dari Republik ini. Oleh karena itu, faktor historis - yuridis menjadi dasar mengapa Kepulauan Sipadan - Ligitan lepas dari Republik ini sehingga kasus ini perlu menjadi pembelajaran agar tidak terjadi lagi pada kasus yang lain, termasuk juga kekhawatiran dari klaim Reog.
 
 
Lepasnya Kepulauan Sipadan - Ligitan ternyata memicu berkah karena Indonesia pada akhirnya mendapatkan kepulauan baru di Aceh Barat (lebih luas dari Kepulauan Sipadan – Ligitan dan diakui PBB sejak tahun 2017). Meski demikian, tentu berharap tambahan pulau baru itu tidak seiring dengan lepasnya Kepulauan Sipadan – Ligitan karena juga pernah ada kasus lepasnya Timor Timur karena referendum dan akhirnya Republik ini kalah dan sampai sekarang Irian juga berkehendak untuk merdeka. Jika dicermati kasus  ini sejatinya  menuntut kecerdasan pemerintah untuk konsisten menjaga kedaulatan dari semua aspek, baik sosial politik atau ekonomi bisnis sehingga riak yang berkehendak di balik semua tindakan arogansi bisa diminimalisir. Jadi,  pelajaran dari lepasnya Timor Timur dan  Kepulauan Sipadan - Ligitan perlu dicermati agar tidak kembali terulang dan ketegasan diplomatik, termasuk komitmen menjaga kedaulatan harus diperkuat.
 
Kasus Reog juga tidak bisa terlepas dari kepentingan untuk mendapatkan pengakuan dan klaim bahwa Reog adalah warisan budaya di negara tetangga. Padahal publik jamak kini masih tetap mengakui dan jelas-jelas menyebutkan sebagai Reog Ponorogo bukan Reog Kualalumpur dan Ponorogo itu sendiri ada di wilayah Republik ini. Di sisi lain pastinya Malaysia juga tidak gegabah mengakui Reog sebagai warisan budayanya tanpa ada bukti sejarah historisnya yang mendasarinya. Bagaimanapun juga, peradilan dan pengadilan itu sendiri membutuhkan semua bukti sebagai alat pendukung dan tanpa adanya bukti-bukti itu
maka ajuan peradilan pasti ditolak dan kalah dalam peradilannya. Oleh karena itu, Republik ini tidak bisa mengabaikan rencana klaim Reog sebagai warisan budaya di negara tetangga dan semua bukti harus dipersiapkan sebaik mungkin termasuk tentunya bukti sejarah historis yang menguatkannya.
 
 
Belajar bijak dari kasus Reog dan kasus kepulauan Sipadan – Ligitan, juga kasus Timor Timur maka semua yang belum terintegrasi dan juga belum teregistrasi perlu di cermati dengan seksama agar tidak ada lagi kepemilikan yang ada di Republik ini akhirnya bisa terlepas begitu saja. Komitmen kedaulatan memang harus lebih diperkuat apapun aspek yang mendasarinya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengabaikan kepentingan di balik kedaulatan karena ini menjadi dasar dari kekuatan berbangsa dan bernegara. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
 
 

Editor: Gungde Ariwangsa

Sumber: Edy Purwo Saputro

Tags

Artikel Terkait

Terkini

HIKMAH RAMADHAN: Memerangi Kebodohan

Jumat, 31 Maret 2023 | 00:45 WIB

HIKMAH RAMADHAN: Bekerja adalah Ibadah

Kamis, 30 Maret 2023 | 00:45 WIB

HIKMAH RAMADHAN: Keteguhan & Keimanan

Rabu, 29 Maret 2023 | 00:45 WIB

Puasa dan Produktifitas Kinerja

Selasa, 28 Maret 2023 | 06:46 WIB

HIKMAH RAMADHAN: Halal dan Haram

Selasa, 28 Maret 2023 | 00:45 WIB

Piala Dunia U20: Berharap 'Sesuatu' Tak Terjadi

Senin, 27 Maret 2023 | 13:23 WIB

Ancaman Konsumtif

Senin, 27 Maret 2023 | 03:26 WIB

HIKMAH RAMADHAN: Mendapat Petunjuk

Senin, 27 Maret 2023 | 00:45 WIB

Membangun Empati Pada Keselamatan Lalu Lintas

Minggu, 26 Maret 2023 | 21:19 WIB

Ramadan: Evaluasi, Tindaklanjut dan Istiqamah 4

Minggu, 26 Maret 2023 | 08:56 WIB

HIKMAH RAMADHAN: Janji Kemenangan

Minggu, 26 Maret 2023 | 00:45 WIB

Ramadan : Evaluasi, Tindaklanjut dan Istiqamah 3

Sabtu, 25 Maret 2023 | 11:42 WIB

HIKMAH RAMADHAN: Kewajiban Berpuasa

Kamis, 23 Maret 2023 | 00:45 WIB

Putusan PN Jakpus VS Konstitusi UUD 45

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:29 WIB
X