Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
SUARAKARYA.ID: Kilas balik 25 tahun reformasi tidak terlepas dari Tragedi Trisakti yang berlanjut pada lengsernya orba pada 21 Mei 1998. Semangat reformasi adalah penolakan KKN yang berdampak terhadap penciptaan pemerintahan yang bersih. Ironisnya, dalam perjalanan panjang reformasi ternyata semakin meredup dan ditandai semakin suburnya KKN. Hal ini tidak hanya di pusat tapi juga di daerah.
Bahkan, OTT KPK kian marak dan pastinya ini mencederasi etos reformasi. Kasus terbaru adalah penetapan tersangka Menkominfo, Johnny G Plate dalam kasus korupsi BTS yang merugikan negara Rp 8 triliun. Terkait ini pada tahun 2018 banyak terjadi OTT KPK dan seharusnya menjadi warning agar di tahun berikutnya tidak terjadi lagi, meski faktanya masih terus saja muncul. Setidaknya sejumlah kasus melibatkan korupsi kepala daerah, baik di pusat atau di daerah. Bahkan, temuan kasusnya tidak hanya dilakukan secara mandiri tapi juga berjamaah.
Selain itu, pada 10 April 2018 terjadi OTT atas Bupati Bandung Barat, Abubakar (vonis 5,6 tahun), Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud (vonis 7 tahun, 15 Mei), Bupati Mojokerto, Mustofa (vonis 8 tahun, 20 Maret), Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat (vonis 8 tahun, 23 Mei), Bupati Purbalingga, Tasdi (vonis 7 tahun, 4 Juni), Bupati Tulungagung Syahri Mulyo (vonis 10 tahun, 6 Juni), Walikota Blitar Samanhudi Anwar (vonis 5 tahun, 6 Juni), Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (vonis 7 tahun, 3 Juli), Bupati Bener Meriah, Ahmadi (vonis 3 tahun, 3
Juli), Bupati Labuhanbatu, Pangonal Harahap (vonis 4,6 tahun, 17 Juli), Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan (vonis 12 tahun, 27 Juli), Walikota Pasuruan, Setiyono (vonis 6 tahun, 4 Oktober), Bupati Malang, Rendra Kresna (vonis 6 tahun, 15 Oktober), Bupati Bekasi, Neneng Hassanah (vonis 6 tahun, 15 Oktober), Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra (vonis 5 tahun, 24 Oktober), Bupati Pakpak Barat, Remigo Yolando Berutu (vonis 7 tahun, 18 November), Bupati Jepara, Ahmad Marzuki (vonis 3 tahun, 6 Desember) dan Bupati Cianjur, Irvan Rivano Muchtar (vonis 5 tahun, 12 Desember).
Baca Juga: Kuota Haji
Fakta di tahun 2017 juga ada 7 kepala daerah terjerat OTT yaitu Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti (vonis 8 tahun, 21 Juni), Bupati Pamekasan, Achmad Syafii (vonis 2,8 tahun, 2 Agustus), Walikota Tegal, Siti Masitha (vonis 5 tahun, 29 Agustus), Bupati Batubara, OK Arya
Zulkarnain (vonis 5,6 tahun, 13 September), Walikota Batu, Eddy Rumpoko (vonis 5,5 tahun, 16 September), Walikota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi (vonis 6 tahun, 23 September) dan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman (vonis 7 tahun, 25 Oktober). Serangkaian OTT Kepala Daerah tersebut secara tidak langsung bisa menjadi preseden buruk terhadap kepercayaan masyarakat terhadap reformasi. Artinya, rentang waktu 25 tahun reformasi dengan serangkaian pesta demokrasi yang akhirnya terbukti semakin banyak korupsi maka bukan tidak mungkin fakta ini bisa memicu angka golput dan bisa memicu dampak negatif
terhadap kepercayaan pesta demokrasi.
Jika memang angka golput tinggi di pesta demokrasi maka jangan salahkan masyarakat tapi parpol dan KPU haruslah introspeksi. Terkait ini, mengacu data LSI bahwa golput pilpres 2019 sebesar 19,24% (pada pileg mencapai 29,68%), sedangkan data KPU yaitu 23,3% di pilpres 2004, lalu 27,45% pada 2009 dan 30,42% pada 2014. Oleh karena itu, banyaknya kasus korupsi dan dinasti politik di era reformasi harus dicermati agar publik tidak mencibir pesta demokrasi dan reformasi itu sendiri. Daya kritis ini yang menjadi ancaman dibalik potensi golput kaum milenial terutama dikaitkan OTT sejumlah kepala daerah di era reformasi dan pertimbangan kejenuhan akibat waktu yang terlalu mepet dalam semua pelaksanaan pesta demokrasi, baik pilpres, pileg dan pilkada 5 tahunan.
Kilas balik reformasi 25 tahun yang lalu dengan tumbangnya rezim orba digelorakan oleh mahasiswa dengan tujuan utama menghilangkan semua bentuk praktek KKN pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya, era reformasi termasuk juga di era otda justru praktek KKN semakin subur. Paling tida, hal ini ditandai dengan semakin banyak OTT oleh KPK dan juga semakin suburnya dinasti politik dan politik dinasti.
Baca Juga: Pemimpin
Jadi, logis jika 25 tahun reformasi dan kehadiran era otda tidak semakin memberangus KKN tetapi justru sebaliknya sehingga beralasan jika muncul sentimen terhadap pelaksanaan pesta demokrasi karena hasil dari pesta demokrasi itu justru menyuburkan KKN, tidak hanya di pusat tapi juga di daerah, tidak hanya secara individu tetapi juga berjamaah. ***
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Artikel Terkait
Penyambutan Tim Sepakbola SEA Games Indonesia, Mencabik Perasaan Atlet Cabor Lain
Sesi 1 Konferensi Wartawan Dunia di Korea Selatan: Tantangan Untuk Pembangunan Daerah
Sesi 2 Konferensi Wartawan Dunia di Korea Selatan: Kepemimpinan di Era Transformasi Digital