Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
SUARAKARYA.ID: Pilpres tidak lama lagi pada 2024 meski di sisi lain ada peradilan yang menegaskan ada penundaan. Oleh karena itu ajuan banding juga perlu dicermati agar sukses pilpres 2024 sebagai implementasi pesta demokrasi tidak memicu sentimen negatif. Selain itu, fakta gejolak iklim sospol yang muncul pada triwulan I tahun 2023 mulai dari peradilan Sambo dan Teddy Minahasa termasuk juga kegaduhan di Kemenkeu juga harus dicermati karena ini bisa berdampak sistemik terhadap operasional pemerintahan dan pastinya juga memicu pengaruh terhadap hajatan pesta demokrasi melalui pilpres 2024 mendatang.
Jadi, semua persoalan yang muncul pada 2023 harus dicermati agar tidak berdampak sistemik dalam proses pemerintahan meski di akui bahwa pengaruhnya tetap ada, termasuk misal fakta seruan untuk boikot pajak akibat perilaku aparat perpajakan yang tidak patut dicontoh. Jadi, jangan sampai kasus yang viral pada awal tahun 2023 ini berdampak terhadap isu pesta demokrasi, perpajakan dan sentimen bagi generasi milenial.
Keyakinan terkait ancaman sentimen terhadap demokrasi bisa terlihat dari apatisme dari kaum milenial dalam memahami pesta demokrasi itu sendiri. Betapa tidak, data tentang golput cenderung terus meningkat dan hal ini tidak bisa terlepas dari kekacauan selama pesta demokrasi, meski di sisi lain tidak bisa terlepas dari maraknya korupsi petinggi di republik ini baik yang menduduki jabatan di legislatif dan eksekutif, baik sendiri atau berjamaah, termasuk fakta ancaman korupsi yang melibatkan swasta.
Baca Juga: Syariah dan Potensinya
Selain itu, tebang pilih di berbagai kasus juga menjadi pembenar dibalik golput. Ancaman golput kaum milenial kini juga diprediksi tinggi. Padahal, dari 193 juta pemilih sekitar 80 juta atau 40 persen berasal dari kaum milenial. Yang juga menarik dicermati bahwa kaum milenial adalah mereka yang melek teknologi dan rentan terhadap isu-isu politis. Jadi, kasus data bocor oleh Bjorka sangat sensitif bagi kaum milenial dan pasti mereduksi kepercayaan.
Sensitivitas kaum milenial sebagai pendulang suara di pesta demokrasi di tahun politik maka berbagai isu politis haruslah direduksi. Oleh karena itu, kisruh DPT dan E-ktp baik yang tercecer atau kepemilikan WNA harus secepatnya diantisipasi agar kaum milenial tidak antipati terhadap hajatan pesta demokrasi. Kekhawatiran ini harus menjadi proses pembelajaran bagi KPU khususnya dan pemerintah pada umumnya agar ke depan dapat membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik dan tidak memutar balikan persepsian tentang pesta demokrasi.
Betapa tidak, asumsi pesta adalah situasi yang penuh dengan kegembiraan tapi yang terjadi sebaliknya pesta demokrasi baik pileg, apalagi pilpres dan pilkada justru dipenuhi dengan berbagai isu – hoax, kampanye hitam, kampanye negatif dan ujaran kebencian, termasuk berbalut SARA dengan pengerahan umat melalui label agama tertentu.
Membangun keperilakuan di pesta demokrasi yang lebih santun, elegan dan bermartabat menjadi PR dan tantangan pemerintah agar kedepan tidak ada lagi pesta demokrasi yang menyisakan dendam kesumat bagi yang kalah. Pelajaran berharga dari kasus E-ktp dan DPT tiap siklus 5 tahunan seharusnya tidak boleh lagi terulang pada pesta demokrasi ke depan. Setidaknya sudah banyak kambing hitam yang dikorbankan hanya karena dalih E-ktp dan DPT. Oleh karena itu, pesta demokrasi di tahun 2024 harus menjadi titik awal pendewasaan berkehidupan demokrasi karena 5 tahun ke depan akan ada petarung baru di hajatan pesta
demokrasi yang semuanya benar-benar baru maju di pertarungan pesta demokrasi dan beberapa sudah muncul ke permukaan misal Anies dan Ganjar.
Baca Juga: Urgensi Profesionalisme
Sudahi kisruh E-ktp dan DPT dengan kambing hitam yaitu data – pendataan yang carut marut sehingga esensi pesta demokrasi akan benar-benar menjadi mimpi bersama yang mampu melahirkan pemimpin amanah sesuai pilihan nurani rakyat di republik ini. Jadi, statistik tidak cuma pencatatan angka tapi ada banyak makna dan pastinya semua data itu harus dijaga rahasia dan keamanannya sehingga kasus Bjorka kemarin harus tuntas agar tidak mereduksi trust terhadap pesta demokrasi. ***
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Artikel Terkait
Dua Klaster Premium Habis Terjual, Sinar Mas Land dan Hongkong Land Luncurkan Layton di NavaPark BSD City
Penyelamatan Inkai dari Rezim Korup, Ketua KPI Hermawan Sulistyo Laporkan Arya Bima Yudiantara ke Polda Metro
Extra Effort Pengendalian Inflasi Nasional, Menko Airlangga Hartarto Memperhatikan Peran Penting Polri