Oleh: Syamsudin Walad
SUARAKARYA.ID: Awal terbentuknya komite sekolah berdasarkan atas keputusan menteri No.014/U/2002 tanggal 2 april 2002 maka Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya pada tingkat satuan dapat dibentuk komite sekolah atas prakarsa masyarakat.
UUSPN No 20 tahun 2003 pasal 56 ayat 3 menyatakan bahwa komite sekolah / madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Jadi, komite sekolah harus mampu meyakinkan orang tua, pemerintah setempat, dunia usaha, dan masyarakat pada umumnya bahwa sekolah itu dapat dipercaya. Dengan demikian, sekolah pada tataran teknis bisa mengembangkan kemampuan menganalisis biaya sekolah yang berkorelasi signifikan terhadap mutu pendidikan yang diperolehnya.
Bagi sekolah swasta yang memiliki kewenangan sendiri, Komite Sekolah mungkin tak terlalu jadi sorotan. Namun tidak demikian dengan sekolah negeri. Sekolah negeri yang dalam aturannya tidak boleh memungut dana dari siswa justru memanfaatkan Komite Sekolah sebagai tameng untuk memungut biaya dari siswa.
Baca Juga: NTB Gencar Turunkan Angka Kemiskinan
Kecenderungan Komite Sekolah yang kerap menghimpun dana siswa belakangan ini semakin jadi sorotan. Terlebih dana yang dipungut cukup signifikan dan memberatkan bagi orang tua siswa. Sebab tidak semua siswa tergolong mampu, banyak juga yang hidup di ambang batas. Artinya mereka tidak termasuk siswa SKTM (siswa tidak mampu), tapi juga tidak memiliki kelebihan.
Beberapa kegiatan yang datang dari usulan Komite Sekolah dan kerap membebani orang tua siswa, terutama di sekolah negeri antara lain:
1. Study tour
2. Perpisahan sekolah
3. Perayaan-perayaan
Dan sebagainya.
Baca Juga: Mendikbud, UN Dan Ujian Sekolah Ditiadakan
Untuk kegiatan study tour hal ini memang dibebaskan kepada siswa, apakah ikut atau tidak. Tapi secara psikologis ini akan membuat siswa tertekan andai siswa tidak ikut. Merasa minder dan pada akhirnya banyak siswa yang memaksakan kepada orangtua mereka untuk ikut.
Sementara kegiatan perpisahan sekolah terutama di level SMP dan SMA sering kali juga diusulkan Komite Sekolah yang pada akhirnya biaya pelaksanaan dibebani ke siswa juga. Tak hanya itu, guru sekolah yang notabenenya sudah mendapat gaji dan tunjangan sertifikasi pun mendapat kenang-kenangan yang justru memberatkan siswa. Belum lagi biaya buku tahunan siswa (bts) untuk perpisahan yang terkesan lux.
Sebenarnya kegiatan perpisahan sekolah bagus-bagus saja dilakukan bila mempertimbangkan biaya murah tapi meriah. Cukup di sekolah bisa dilakukan. Tapi usulan komite sekolah sering tak melihat kemampuan orang tua siswa. Mereka terpancing ikut-ikutan membuat kegiatan perpisahan sekolah di Gedung mewah, Aula hingga hotel. Ini kemudian yang dirasa memberatkan. Apalagi untuk siswa SMP kelas 9 yang orangtuanya mempersiapkan biaya sekolah ke SMA.
Sementara kelas 12 SMA Orangtua mempersiapkan anaknya ke perguruan tinggi.
Fungsi komite sekolah sendiri sebenarnya untuk menjembatani persoalan siswa dengan sekolah. Bukan malah untuk mengorganisir kegiatan yang sifatnya terkesan hura-hura dan memberatkan orangtua siswa. Di sinilah kemudian melenceng dari fungsi sebenarnya.
Artikel Terkait
Ramly Muhamad: Lepas Persyaratan Usia, Siswa Dari Keluarga Miskin Harus Dapat Prioritas Masuk Sekolah Negeri
Kemendikbud Ristek Berharap Seluruh Satuan Pendidikan Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan
Hj Qonita Lutfiyah: Pembangunan Sekolah SMP dan SMA Harus Tetap Jadi Perhatian