SUARAKARYA.ID: Kondisi kekeringan dapat memicu banyak persoalan. Seperti terjadinya krisis air dan melemahnya ketahanan pangan.
Indonesia diprediksi mengalami musim kering pada bulan Juni sampai bulan September. Untuk mengantisipasi kondisi ini, Badan Meteorologi, Kilmatologi dan Geofisika (BMKG) menekankan pentingnya pengetahuan dasar atau science based information berbasis data.
“Solusinya adalah science base, data berbasis data, berbasis prediksi. Jadi kita bisa tahu dan prediksi karena ada data, ada observasi dan ada analisis. Jadi science base berbasis data dan analisis itu solusinya,” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam diskusi daring bertajuk “Kelestarian Air, Kebutuhan Hidup Bersama,” yang diadakan oleh Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Senin (20/2/2023).
Baca Juga: Antisipasi Kemarau 2023, KemenPUPR Optimalkan Bendungan dan Sumur Air
Selain penguatan ilmu pengetahuan berbasis data, kondisi kekeringan ini dapat diatasi dengan meningkatkan kerja sama lintas sektor.
BMKG sejauh ini telah bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memastikan efek buruk kondisi kekeringan.
“Saat ini masih hujan lebat, kami sudah berkoordinasi dengan PUPR dan berbagai pihak terkait. PUPR sudah merancang adanya sumur-sumur bor. Lalu kami sudah menyiapkan dengan KLHK untuk menerapkan teknologi modifikasi cuaca. Mumpung masih hujan, air dipaksa turun ke waduk-waduk dan membahasihi lahan-lahan kering,” kata Dwikortiaka.
Baca Juga: Warga Jakarta Diimbau Hemat Air Dan Antisipasi Dampak Musim Kemarau
Dalam kondisi hujan sampai bulan Mei, BMKG akan terus berupaya melakukan antisipasi untuk memitigasi resiko ektrem akibat cuaca kering.
Termasuk dengan memperkuat partisipasi masyarakat.
“Tidak bisa hanya sains dan teknologi serta manajemen infrastruktur. Tetapi, keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat. Ini juga harus dilibatkan agar para petani mulai sekarang bisa menampung air dengan menggunakan fisilitas yang sudah disediakan pemerintah seperti waduk,” ucapnya.
Kekeringan sebagai Masalah Global
Dwikorita Karnawati juga mengatakan, kekeringan merupakan masalah global yang tidak hanya dialami oleh Indonesia. Berdasarkan data WMO atau Organisasi Meteorologi Dunia, kekeringan melanda baik negara berkembang maupun negara maju.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Indonesia Dorong Seluruh Negara Atasi Krisis Air
Dalam temuan WMO, kekeringan ini menyebabkan konsdisi zona kekurangan air secara global atau dikenal Global Water Hotspot.
WMO dalam temuannya, melingkari benua-benua dengan lingkaran berwarna merah.
Semakin besar lingkaran, merupakan pertanda zona kekurangan air negara-negara di benua tersebut semakin tinggi.
Dari data tersebut, Asia Tenggara, termasuk Indonesia tergolong sebagai wilayah dengan zona ketidaktersedian air yang tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Baca Juga: Agar Tenang Hadapi Kemarau, Petani Sumba Barat Harus Gunakan Asuransi
Ini ditunjukan dengan lingkaran kecil pada benua Asia Tenggara, bahkan paling kecil di antara benua-benua yang lain.
“Meskipun Indonesia nampaknya belum dilingkari, semoga tidak. Insya Allah ini berhasil karena memang sudah dirancang, ya. Disinilah pentingnya ketangguhan nasional. Karena kita sudah tidak bisa bergantung pada negara lain. Jadi kita harus mengoptimalkan sumber daya air kita,” kata Dwikorita. ***
Artikel Terkait
SL IPDMIP, Panen Di Manggarai Timur Tetap Tinggi Meski Kemarau
La Nina Bertahan Hingga Mei, 58% Wilayah Zona Musim Terlambat Masuk Musim Kemarau
Peringatan Dini, BMKG: Antisipasi Potensi Karhutla Di Musim Kemarau 2021
Warga Jakarta Diimbau Hemat Air Dan Antisipasi Dampak Musim Kemarau
Percepat Pembangunan Bendungan Bolango Ulu Di Gorontalo, KemenPUPR Jamin Suplai Air Baku Saat Kemarau
Kepala Balai Wilayah Sungai Harus Mampu Atasi Banjir dan Kemarau
Antisipasi Kemarau 2023, KemenPUPR Optimalkan Bendungan dan Sumur Air