SUARAKARYA.ID: Masih terngiang di telinga betapa memilukan dan menderaikan air mata tangis ibunda Brigadir Yoshua Hutabarat atau Brigadir J, Rosti boru Simanjuntak, ketika makam anaknya dibongkar lagi untuk diotopsi ulang. Hatinya sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkan sampai menghantarkan anaknya sebagai polisi terkoyak-koyak sudah. Tangisnya histeris, memilukan dan menyedihkan.
Meski di sini saya hanya bisa terjemahkan ke Bahasa Indonesia - lebih menyentuh sanubari jika mendengarnya dalam Bahasa Batak - tetap saja mengundang pilu hati. "Anakku kubesarkan dan kusekolahkan kemudian kuberangkatkan kau ke Jakarta jalankan tugas negara tetapi dirimu pulang justru tidak bernyawa. Kalaulah bisa anakku, aku yang sudah tua inilah duluan meninggal, bukan dirimu, tetapi kenapa dan bagaimana sampai begini anakku dirimu tewas disiksa dan dibedil," begitu sepenggal tangis atau andungnya ibu Rosti boru Simanjuntak.
Banyak lagi potongan-potongan andungnya yang sangat mengharukan dan menyayat hati yang mendengarnya. Tidak hanya marga Simanjuntak, Hutabarat atau orang Batak saja, tetapi juga orang Indonesia yang sudah susah payah membesarkan dan menyekolahkan anaknya hingga berhasil namun belum apa-apa sudah patahkan dan dihabisi riwayatnya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Baca Juga: Kasus Brigadir J, Jokowi: Ungkap Kebenaran Apa Adanya demi Kredibilitas Polri
Tiada guna lagi ditangiskan. Hanya harapan dan doa dipanjatkan agar Yoshua Hutabarat berada di samping Tuhan di surga.
Ketua Komunitas Civil Society Irma Hutabarat pun mengaku bisa memahami derita hati Rosti boru Simanjuntak atas tragedi taris dan menyedihkan yang menimpa Brigadir J. Yoshua Hutabarat selain jadi polisi, perangainya juga dikenal baik hati dan hendak menikah pula dengan boru Tulangnya atau "maen" atau ponakan Rosti ibundanya.
Bisa dibayangkan betapa kerasnya perjuangan Rosti menyekolahkan Yoshua. Rosti yang hanya guru honorer dengan honor Rp 450 ribu sebulan berjuang dengan segala daya dan upaya untuk membagi uangnya yang sedikit itu agar bisa menyekolahkan anaknya sampai menjadi polisi berpangkat Brigadir. Namun manusia berkehendak Tuhan yang menentukan. Setelah Yoshua menggapai cita-citanya, bakal naik pangkat lagi kemudian menikah segalanya yang indah dan manis seketika pupus bagai ditelan bumi. Semuanya direnggut, bahkan nyawanya disudahi secara sadis, kejam tanpa perikemanusiaan.
Baca Juga: Kuasa Hukum Bharada E Ajukan Kliennya Justice Collaborator kepada LPSK
Menurut Irma Hutabarat saat hadiri penyalaan 3.000 lilin sebagai acara solidaritas untuk Brigadir J di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, kalau bukan berkat etos atau motto kehidupan orang Batak yang berbunyi: Anakkon Hi Do Hamoraon Di Au (Anakku kekayaan segalanya bagiku) Yoshua tidak akan menggapai cita-citanya sebagai polisi. Namun motto hidup orang Batak menyemangati dan mendorong ibundanya memperjuangkan habis-habisan sampai menjadi abdi negara.
Ada memang lagu Batak yang erat hubungannya dengan segala upaya orang tua memperjuangkan anak-anaknya sampai berhasil menyelesaikan sekolahnya setinggi-tingginya. Judulnya “Anakkon Hi Do Hamoraon Di Au”. Lagu ini sudah lama diciptakan, namun tetap popular hingga kini karena pesan-pesan liriknya begitu memotivasi orangtua agar hidup anak-anaknya kelak lebih baik darinya. Inilah lirik selengkapnya lagu tersebut berikut terjemahannya ke Bahasa Indonesia.
Anakkon Hi Do Hamoraon Di Au
Artikel Terkait
Isak Tangis Warnai Vonis Bebas Murni Empat Terdakwa Kasus Perjudian Online
Tangis Haru Kasad Saat Mengunjungi Anak Sertu Eka, Korban Kebiadaban KKB Papua
Irjen Ferdy Sambo Tersangka Utama, Kapolri: Tidak Ada Tembak Menembak, FS Rekayasa Kasus Kematian Brigadir J
Irjen Ferdy Sambo Aktor Pembunuhan Brigadir J, Siapa Saja Yang Bantu dan Bagaimana Perannya?
Kapolri: Irjen Pol Ferdy Sambo Jadi Tersangka Pembunuhan Brigadir Joshua