Chairman Medco Grup ini menjelaskan bahwa sebetulnya, TBC juga berdampak pada sektor swasta. Pada skala makro, suatu korporasi dapat mengalami penurunan produktivitas akibat kematian prematur dan kesakitan yang dialami oleh pekerja. Bonus demografi yang diprediksikan menjadi generasi emas Indonesia akan berbalik menjadi bencana jika kita tidak bermitra untuk mengakhiri TBC.
Ragam sudut pandang serta masukan dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda dapat menjadi ide penting dalam perancangan serta implementasi pendekatan-pendekatan yang lebih inovatif.
Salah satunya dengan melibatkan figur publik sebagai Duta Tuberkulosis (Goodwill TB Ambassador) dalam menyebarluaskan informasi TBC secara konsisten pada masyarakat.
Dr. Sonia Wibisono kembali menekankan ancaman TBC yang perlu perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan karena penyakit ini rentan menular melalui udara sehingga siapa pun bisa terkapar tertular.
"TBC tidak hanya beresiko terjadi kepada orang yang tinggal di pemukiman kumuh, tetapi juga pada dokter, perawat, eksekutif muda, maupun pekerja di bidang entertainment dan media, sekalipun. Penyakit menular ini lintas usia, lintas gender, dan lintas sosial. Siapa pun, apa pun dan dimana pun dapat berisiko tertular,” ungkap Sonia Wibisono, selain dikenal sebagai dokter juga influencer ini.
Sementara karibnya, dr. Reisa Broto Asmoro dalam kesempatan yang sama selaku Duta Tuberkulosis menyebut perubahan dan pergeseran perilaku hidup saat ini yang telah masuk di dunia online dan digital sebagai sebuah keniscayaan zaman mempengaruhi kita agar mampu memanfaatkan media digital dalam membangun kesadaran masyarakat tentang TBC misalnya bisa melalui konten Vlog, YouTube, Instagram dan lainnya.
Ully Ulwiyah selaku Ketua Yayasan Pejuang Tangguh Tuberkulosis Resisten Obat (PeTaTB RO) menyampaikan penyakit tuberkulosis berdampak besar bagi pasien, karena tidak hanya berdampak pada kesehatan tetapi juga memiliki konsekuensi sosioekonomi rumah tangga.
“Pasien dan keluarga rentan mengalami stigma dan diskriminasi serta kehilangan pendapatan karena harus memilih fokus pengobatan. Situasi tersebut menambah tantangan pasien untuk mengakses fasilitas layanan kesehatan dan menyelesaikan pengobatannya,"kata Ully.
Dalam uraiannya tentang kampanye #PatunganGizi di kitabisa.com, Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien TB (POP TB), Budi Hermawan, menjelaskan, untuk kembali produktif dalam hidup bermasyarakat semasa pengobatan, pasien TBC tidak hanya membutuhkan obat untuk melawan bakteri.
"Imunitas tubuh mereka perlu diperkuat juga dengan makanan yang bernutrisi tinggi. Namun, tidak semua pasien TBC resisten obat mampu membeli makanan bergizi. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat perlu turun tangan untuk membantu mereka,” jelas Budi Hermawan.
Tentunya, mengatasi stigma dan diskriminasi serta menjamin adanya perlindungan sosial bagi pasien tuberkulosis membutuhkan perhatian lebih banyak sektor di luar kesehatan. Stop TB Partnership Indonesia (STPI) adalah mitra dari Stop TB Partnership global. STPI yang didirikan sejak 2013, adalah wadah kemitraan lintas sektoral yang mendukung Program Tuberkulosis Nasional (NTP). Organisasi ini terdiri dari 75 mitra lokal dan internasional yang berkolaborasi untuk mengakhiri Tuberkulosis di Indonesia. STPI mendukung NTP dalam mencapai target program TBC nasional dengan menyelaraskan kolaborasi dan advokasi untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan yang terkait dengan pengendalian dan pencegahan TBC.
Sekretariat STPI bekerja di bawah arahan strategis dewan penasihat yang melibatkan praktisi kesehatan masyarakat, akademisi, dokter, profesional dari lembaga pembangunan, serta perwakilan sektor swasta dan publik***