SUARAKARYA.ID: Hukum adat, Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Laksanto Utomo mengatakan, perlu meningkatkan keterlibatan lembaga adat. Dalam membuat pembangunan hukum nasional, khususnya dalam menyusun undang-undang (UU).
“Meningkatkan peran serta lembaga adat dalam penegakan hukum adat. Lebih banyak melibatkan lembaga adat dalam membentuk hukum di daerah,” ungkap Laksanto di Jakarta, Selasa (18/10/2022).
Selain itu, perlu menggali berbagai hukum adat yang tersebar di daerah di Tanah Air dan menempatkannya sebagai hukum yang hidup di masyarakat atau the living law, serta mengutamakan hukum adat dalam menyelesaikan sengketa.
Laksanto menjelaskan, itu merupakan rekomendasi dalam membangun budaya hukum di daerah. Yang disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Dokumen Pembangunan Hukum Nasional Tahun 2022.
FGD bertajuk 'Arah dan Strategi Pembinaan Budaya Hukumdan Sarana Prasarana Hukum di Daerah' tersebut, dihelat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).a
Dikemukakannya, dengan meningkatkan partisipasi lembaga adat yang ada di Indonesia, maka produk hukum atau peraturan, baik tingkat daerah maupun nasional sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Yang diyakini kebenarannya, sehingga tidak terjadi penolakan.
Selain itu, lanjutnya, juga harus ada sistem penataan hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu. Dengan, menghormati hukum agama dan adat, serta memperbarui berbagai peraturan warisan kolonial.
Setelah itu, meningkatan sosialiasi hukum, baik substansi, struktur, dan budaya. Untuk meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat, baik hak dan kewajibannya.
“Masyarakat lebih memahami dan menjalankan hukum adatnya, berpegang teguh pada hukum adat, berprilaku hukum sesuai hukum adat, lebih takut hukum adat daripada hukum nasional,” tuturnya.
Rekomendasi berikutnya, ujarnya, meningkatkan keteladanan prilaku aparat penegak hukum. Dalam menegakkan hukum serta ketaatan aparat penegak hukum terhadap hukum.
Laksanto menjelaskan, keteladanan dan ketaatan aparat penegak hukum ini sangat penting. Aparat penegak hukum, khususnya hakim, harus memahami hukum tidak tertulis yang hidup di tengah-tengah masyarakat atau the living law.
Dia mencontohkan, sempat melakukan advokasi di Padang, Sumatera Barat (Sumbar), dalam perkara waris. Majelis hakim memutus perkara itu menggunakan hukum Islam atas pertimbangan bahwa mayoritas penduduk di sana adalah muslim.
Baca Juga: Decade of Person with Disabilities, Menko PMK Buka Pertemuan PBB Tingkat Tinggi Asia Pasifik
Ternyata, Ninik Mamak di sana [Sumbar] protes, kita [warga Minang Kabau] punya hukum adat sendiri. Kemudian melaporkan hakim ke Komisi Yudisial (KY).
Tidak cukup sampai di situ, pihaknya pun melayangkan surat kepada Mahkamah Agung (MA). Agar dalam menempatkan hakim di daerah-daerah, yang sangat menjunjung tinggi hukum adat, harus yang memahami hukum tersebut.
“Indikator kesadaran hukum berarti harus ada pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap menilai hukum, dan prilaku sesuai hukum,” tuturnya.***
Artikel Terkait
Boyamin Saiman: Kasus Dugaan Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Hukum Adat
Jatim Juara Umum MTQ Nasional XXIX Tahun 2022, Ini Data Para Juaranya
Dugaan Mafia Tanah Libatkan Oknum di Institusi Penegak Hukum Masih Merajalela