Sengketa Pembatalan Kontrak Kerjasama PLTP Dieng dan Patuha Ungkap Fakta Baru, Seperti Apa?

- Kamis, 26 Januari 2023 | 19:34 WIB
Konferensi Pers tim kuasa hukum PT Bumigas Energi terkait Sengketa pembatalan kontrak kerjasama pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng Jawa Tengah dan Patuha Jawa Barat (Sadono )
Konferensi Pers tim kuasa hukum PT Bumigas Energi terkait Sengketa pembatalan kontrak kerjasama pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng Jawa Tengah dan Patuha Jawa Barat (Sadono )

 

SUARAKARYA.ID:  Sengketa pembatalan kontrak kerjasama pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng Jawa Tengah dan Patuha Jawa Barat terus berkembang.

Kali ini PT Bumigas Energi (BE) mengungkapkan sejumlah fakta yang menyeret keterlibatan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Fakta itu adalah langkah Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, yang diduga kuat diperintahkan mantan Pimpinan KPK Periode 2015-2019 dalam menerbitkan Surat Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) kepada PT Geo Dipa Energi (Persero) Nomor B/ 6004/ LIT. 04/10 15-09/2017 tertanggal 19 September 2017, melanggar Pasal 12 Ayat (2) Huruf b UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Khresna Guntarto, Kuasa Hukum PT BE kepada wartawan di Jakarta,  Kamis (26/1/2023).

Baca Juga: Deputi Pencegahan KPK Bantah Surat 'Bantuan' Diteken Atas Nama Pribadi

Khresna menyatakan surat tersebut digunakan untuk menyingkirkan PT BE dalam pengelolaan panas bumi di Dieng dan Patuha melalui sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ke-2 (dua) kalinya. Padahal, Bumigas dengan Geo Dipa telah selesai bersengketa di BANI ke-1 dan memiliki kekuatan hukum tetap dengan putusan menghidupkan kembali kontrak kerja sama.

Majelis Arbitrase BANI ke-2 dengan pertimbangan Surat KPK tersebut.

Baca Juga: Laksma Bakamla I Gusti Kompiang Jabat Deputi Opslat Bakamla

“Baik Pahala maupun Pimpinan KPK Periode 2015-2019 potensial melanggar UU KPK,” kata Khresna.

Perbuatan pejabat KPK itu menerbitkan Surat untuk Geo Dipa tersebut seakan terdapat permintaan informasi perbankan kepada HSBC Indonesia dari Penyidik KPK yang selanjutnya wajib diungkap serta merta oleh lembaga perbankan sehubungan proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang telah menetapkan tersangka.

Padahal, dalam hal ini tidak pernah sedikitpun PT BE diperiksa oleh Penyidik KPK apalagi sampai ditetapkan sebagai tersangka. Oleh karena itu, klaim sepihak Deputi Pencegahan KPK mengenai adanya permintaan informasi kepada HSBC Indonesia, menjadi patut dipertanyakan dan dipersoalkan.

Pasal 12 Ayat (2) Huruf b UU KPK berbunyi sebagai berikut: “Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.”

Jadi Penyidik KPK memang dapat meminta informasi perbankan dengan catatan proses Penyidikan dan yang diminta adalah sehubungan informasi perbankan tersangka. Namun, faktanya tidak pernah ada penyidikan ataupun tersangka dari pihak PT BE.

KPK juga berhak meminta informasi perbankan dalam situasi pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Pemberi laporan memberikan surat kuasa kepada KPK cq. Direktorat LHKPN untuk dapat membuka rekeningnya sewaktu dibutuhkan. Dengan demikian, jika bukan penyidikan ataupun penyelidikan dibutuhkan konsen persetujuan dari terperiksa.

Halaman:

Editor: Markon Piliang

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X