Kesimpulannya, kata Bevaola, etika digital adalah pedoman menggunakan berbagai platform digital secara sadar, bertanggung jawab,berintegritas, dan menjunjung nilai-nilai kebajikan untuk kepentingan seluruh manusia.
Budaya Bermedia Digital
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Blitar Samsul Hadi, S.Pd, MT dalam pemaparannya mengatakan budaya bermedia digital merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut dia, pengetahuan dasar akan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.
Samsul Hadi wanti-wanti, dalam berbudaya digital jika tidak dilakukan sebagaimana mestinya akan dapat mengaburkan wawasan kebangsaan masyarakat dan menipisnya kesopansantunan.
”Kebebasan ekspresi yang kebablasan, berkurangnya toleransi dan penghargaan pada perbedaan, hilangnya batas-batas privasi, pelanggaran hak cipta dan hak intelektual,” tuturnya.
Karena itu, Samsu menekankan perlunya menjadikan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital.
“Mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai panduan karakter dalam beraktivitas di ruang digital,” ujar Samsul Hadi.
Samsul pun mengatakan, dunia digital adalah dunia kita sekarang ini. Ia mengajak untuk mengisi dan menjadikannya sebagai ruang yang berbudaya, tempat belajar dan berinteraksi, dan tempat anak-anak kita bertumbuh kembang, sekaligus sebagai tempat di mana kita sebagai sebuah bangsa yang bermartabat.
Di acara diskusi yang sama, praktisi Pendidikan Cakap Digital Anang Masduki mengungkapkan fakta penggunaan gadget pada anak usia 6 sampai 12 tahun.
AC Nielsen, sebuah lembaga riset dan media ekonomi asal Inggris menyebutkan bahwa 81 persen anak usia 6-12 tahun mengirim dan menerima pesan dari gadget. Dan, sebanyak 59 persen mengunduh aplikasi.
“53 persen bermain game yang terpasang di gadget, 53 persen mengakses internet, dan 46 persen melakukan panggilan video (video call),” ungkapnya.
Selain itu, Anang memberitahukan ciri-ciri penipuan melalui media sosial, yaitu akunnya tidak centang biru, username memiliki embel-embel atau membalik-balikan susunan kata, follow akun yang tidak resmi, dan mengunggah ulang postingan dari akun resmi.
“Modus penipuannya mengirimkan Direct Message (DM), memberikan nomor WhatsApp, meminta data rahasia, meminta mengirimkan sejumlah uang, dan mengancam akan menonaktifkan akun pengguna,” jelas Anang.
Sedangkan untuk mengamankan diri saat bermedia digital, Anang menyarankan agat memastikan pasword aman, yakni terdiri dari kombinasi huruf, angka dan simbol yang tidak mudah dilacak oleh orang lain.
“Cek akses data personal sebelum mengunduh aplikasi, periksa pengaturan pribadi jejaring media sosial, dan jangan menggunakan penyimpanan umum untuk informasi pribadi,” sarannya.
Anang juga menyarankan menjaga privasi jika menggunakan Wifi publik, dan jangan mudah membagikan lokasi (shereloc). Selain itu, jangan klik link yang tidak jelas, dan jangan menghubungkan antar medsos.
Artikel Terkait
Kemkominfo Gandeng GNLD Gelar Webinar Cakap Bermedia Sosial se-Jawa Timur
Apa Itu Poster? Media Cetak Atau Digital Yang Dirancang Untuk Menyampaikan Pesan
Talkshow Kemkominfo dan GNLD: Menjadi Warga Digital yang Cakap, Beretika dan Berdaya, Seperti Apa?